Sabtu, 14 Agustus 2010

KEDUDUKAN HAKIM


a. Secara Formal
Kedudukan Hakim telah diatur dalam Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan -ketentuan pokok kekuasaan kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 35 Tahun 1999, Undang-undang tersebut didasarkan pada UUD 1945 pasal 24 dan 25 beserta penjelesannya, sebagaimana telah diubah dengan perubahan ketiga tanggal 9 Nopember 2001. Selanjutnya ketentuan-ketentuan pokok tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung maupun Undang-undang tentang Peradilan Umum juga Tata Usaha Negara dan Militer. Dalam fungsi dan tugas tersebut. Hakim berkedudukan sebagai Pejabat Negara sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1974, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok kepegawaian.

b. Fungsi dan tugas
Berdasarkan ketentuan-ketentuan formal tersebut fungsi dan tugas Hakim adalah sebagai pelaksana Kekuasaan Kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang pada dasarnya adalah mengadili.
Kata mengadili merupakan rumusan yang sederhana, namun didalamnya terkandung pengertian yang sangat mendasar, luas dan mulia, yaitu meninjau dan menetapkan sesuatu hal secara adil dan memberikan keadilan. Pemberian keadilan tersebut harus dilakukan secara bebas dan mandiri. Untuk dapat mewujudkan fungsi dan tugas tersebut, penyelenggaraan peradilan harus bersifat tehnis profesional dan non politis serta non partisan. Peradilan dilakukan sesuai standart profesi berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, tanpa pertimbangan-pertimbangan politis dann pengaruh kepentingan pihak-pihak.

c. Kontroversi kedudukan Hakim
Kedudukan sebagai pemberi keadilan itu sangat mulia, sebab dapat dikatakan bahwa kedudukan itu hanya setingkat dibawah Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang. Sehingga dapat pula dikatakan bahwa Hakim itu bertanggung jawab langsung kepada-NYA. Disamping itu Hakim juga mempunyai tanggung jawab sosial kepada masyarakat (social accountability) . Namun walaupun begitu Hakim tetap manusia biasa yang bisa khilaf, keliru dan salah. Dalam kekhilafan, orang mempunyai niat yang baik tetapi pengetahuannya tidak baik (mungkin bisa juga karena mempunyai pendapat atau penafsiran yang berbeda), sehingga pelaksanaannya keliru. Dalam kesalahan, orang mempunyai niat yang tidak baik walaupun pengetahuannya sebenarnya baik, shingga dalam pelaksanaannya secara sadar melakukan kesalahan.

d. Intervensi
Dalam kondisi sebagai manusia yang fana itu, seorang Hakim harus menghadapi keadaan yang mengintervensi kebebasan dan kemandiriannya:
  1. Yang bersifat internal; intervensi ini berupa dorongan dari dalam diri pribadi Hakim sendiri-sendiri seperti misalnya: rasa simpati, impati, antipati, emosi, integritas, keinginan, kepentingan, popularitas dan lain-lain.
  2. Yang bersifat eksternal; Intervesi ini berupa kondisi yang berasal dari luar diri Hakim, seperti misalnya persaudaraan, pertemanan, penyuapan, pengarahan, tekanan, intimidasi, tindakan kekerasan, pembentukan opini, kepentingan politis dan lain-lain, termasuk juga intervensi struktural (intervensi melalui penuangan dalam peraturan perundangan).

e. Sindroma reformasi
Era reformasi merupakan momentum yang baik untuk melakukan pembangunan pembaruan dan penyempurnaan. Reformasi sendiri sebenarnya merupakan hal yang wajar yang cenderung bersifat positif dan merupakan keharusan. Sebab satu-satunya hal di dunia yang tidak pernah berubah adalah adanya perubahan. Jadi selalu akan ada perubahan, baik yang terjadi secara ilmiah, maupun yang terjadi karena ekses-ekses yang tidak dikehendaki.
Dalam pelaksanaan reformasi terdapat fenomena berupa adaya "upaya-upaya" perubahan yang tidak terkendali, bahkan juga adanya penyalahgunaan kesempatan yang memanfaatkan momentum reformasi. Termasuk seperti misalnya pengatasnamaan reformasi untuk melakukan intervensi terhadap badan-badan peradilan. Keadaan ini dapat menimbulkan sindroma diantara para Hakim, sehingga menggoyahkan kemandirian, berupa:
  1. ketakutan dikatakan tidak reformis
  2. keinginan untuk mendapat pujian sebagai jagoan reformasi

f. Upaya Perwujudan
Sebagai upaya untuk mewujudkan kepatutan dan kemampuan dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya, perlu dilakukan pembinaan terhadap Hakim sebagai manusia seutuhnya, mulai sejak pengangkatan sampai dengan pengakhiran masa bhakti. Kepadanya juga perlu diberikan rambu-rambu yang jelas dan tegas, disamping perlu juga dilakukan pengawasan. Untuk mendukung dan membentengi supaya para hakim dapat melaksanakan fungsi dan tugas tersebut, mengiliminasi kefanaannya dan menangkis intervensi-intervensi, perlu upaya-upaya:
  1. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup yang sepadan bagi dirinya beserta keluarga, sehingga dapat hidup dengan tenang dan mempunyai daya tahan terhadap godaan.
  2. Sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung pelaksanaan tugas.
  3. Pendidikan dan pembinaan yang cukup, sehingga dapat menjadi seorang profesional yang handal.
  4. Norma-norma yang baku dan ketentuan-ketentuan mengenai hak dan kewajiban
  5. Perlindungan atas pelecehan terhadap hakim (contemp of court) dan perlindungan atas ancaman physik dan teror, serta perlindungan atas intervensi terhadap kemandirian.
  6. Pengawasan sebagai suatu sistem kontrol untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan yang tidak diinginkan.
  7. Pembebasan dari tuntutan ganti rugi karena adanya kesalahan dalam perbuatan yang merupakan pelaksanaan tugasnya dalam bidang peradilan.
  8. Penghargaan bagi yang telah melaksanakan tugasnya dengan baik dan sanksi bagi yang melakukan pelanggaran.
  9. Meningkatkan budaya hukum masyarakat.

Disadur:
PEDOMAN PERILAKU HAKIM (CODE OF CONDUCT) KODE ETIK dan MAKALAH BERKAITAN
MAHKAMAH AGUNG 2006